MAKALAH
“TITRASI REDOKS”
Dosen Pembimbing : Arif Santoso, S.Farm.,Apt
Oleh :
1.
Anggiati Ambarsari (1314206005)
2.
Heni Setyowati (1314206021)
3.
Paulus Tede Bethan (1314206035)
4.
Yayuk Winarsih (1314206038)
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
STIKES KARYA PUTRA BANGSA
TULUNGAGUNG
2015
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT, berkat ridho-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Titrasi Redoks”.
Dalam
menyusun makalah ini, terdapat hambatan yang penulis alami, namun berkat
dukungan, dorongan dan semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah
ini. Oleh karena itu penulis tidak lupa pada kesempatan ini mengaturkan terima
kasih kepada Bapak Arif Santoso, S.Farm.,Apt selaku dosen pembimbing.
Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
Semoga makalah “Titrasi
Redoks” ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya.
Tulungagung, 19 November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
1.3
Tujuan .................................................................................................................... 2
1.4
Manfaat ................................................................................................................. 3
BAB II ISI
2.1
Teori Titrasi Redoks ..............................................................................................
2.2
Jenis-jenis Reaksi Titrasi Redoks...........................................................................
2.2
Prinsip Reaksi Titrasi Redoks ................................................................................
2.3
Indikator Titrasi Redoks........................................................................................
2.4
Aplikasi Titrasi Redoks dalam Analisis Obat.........................................................
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam
melakukan percobaan di laboratorium kimia, kita tidak akan terlepas dari
analisis, baik itu kualitatif ataupun kuantitatif. Kedua analisis ini akan
selalu beriringan. Setelah kita mengidentifikasi suatu zat melalui analisis
kualitatif, langkah selanjutnya adalah menentukan banyaknya jumlah zat yang
terdapat dalam sampel tersebut yang biasa kita kenal dengan analisis
kuantitatif. Dalam analisis kuantitatif, kita beberapa metode dan salah satunya
yaitu metode titrimetri.
Metode
titrimetri yang dikenal juga sebagai metode volumetri merupakan cara analisis
kuantitatif yang didasarkan pada prinsip stoikiometri reaksi kimia. Dalam
setiap metode titrimetri selalu terjadi reaksi kimia antara komponen analit
dengan zat pendeteksi yang diseut titran.
Istilah
titrasi untuk penambahan titran ke dalam analit didasarkan pada proses
pengukuran volume titran untuk mencapai titik ekivalen. Istilah metode
titrimetri lebih cocok diterapkan untuk analisis kuantitatif dibandingkan
metode volumetri, sebab pengukuran volume tidak selalu berkaitan dengan
titrasi.
Jenis
metode titrasi didasarkan pada jenis reaksi kimia yang terlibat dalam proses
titrasi. Berdasarkan jenis reaksinya, maka metode titrimetri dapat dibagi
menjadi empat golongan, yaitu; asidi-alkalimetri, oksidimetri, kompleksometri,
dan titrasi pengendapan. Namun dalam makalah ini kita hanya akan membahas
tentang titrasi oksidimetri (redoks) secara khusus.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian reaksi
redoks ?
2.
Apa saja jenis titrasi
redoks ?
3.
Bagaimana prinsip kerja
titrasi redoks ?
4.
Apa saja indicator titrasi
redoks ?
5.
Baimana aplikasi titrasi
redoks dalam analisis obat ?
1.3 TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian
reaksi redoks
2.
Untuk mengetahui mcam-macam
titrasi redoks
3.
Untuk mengetahui prinsip
kerja titrasi redoks
4.
Untuk mengetahui indicator
titrasi redoks
5.
Untuk mengetahui aplikasi
titrasi redoks dalam analisis obat
1.4 MANFAAT
1.
Mengetahui pengertian
reaksi redoks
2.
Mengetahui mcam-macam
titrasi redoks
3.
Mengetahui prinsip kerja
titrasi redoks
4.
Mengetahui indicator
titrasi redoks
5.
Mengetahui aplikasi titrasi
redoks dalam analisis obat
BAB II
ISI
2.1 Teori Reaksi Titrasi Redok
Titrasi redoks adalah
metode penentuan kuantitatif yang reaksi utamanya adalah reaksi redoks, reaksi
ini hanya dapat berlangsung kalau terjadi interaksi dari senyawa/unsure/ion
yang bersifat oksidator dengan unsure/senyawa/ion bersifat reduktor. Jadi kalau
larutan bakunya oksidator, maka analit harus bersifat reduktor atau sebaliknya
(Hamdani, S: 2011).
Titrasi ini didasarkan pada reaksi
oksidasi-reduksi antara analit dan titran. Analit yang mengandung spesi
reduktor dititrasi dengan titran berupa larutan standar dari oksidator atau
sebaliknya. Berbagai reaksi redoks data digunakan sebagai dasar reaksi
oksidimetri, misalnya penetapan ion besi(II), Fe2+ dalam analit
dengan menggunakan titran larutan standar cesium(IV), Ce4+ yang
mengikuti persamaan reaksi
Fe2+ +
Ce4+
Fe3+ + Ce3+
Titrasi redoks banyak dipergunakan untuk
penentuan kadar logam atau senyawa yang bersifat sebagai oksidator atau
reduktor. Sepertinya akan menjadi tidak mungkin bisa mengaplikasikan titrasi
redoks tanpa melakukan penyetaraan reaksinya dulu. Selain itu pengetahuan
tentang perhitungan sel volta, sifat oksidator dan reduktor juga sangat
berperan. Dengan pengetahuan yang cukup baik mengenai semua itu maka
perhitungan stoikiometri titrasi redoks menjadi jauh lebih mudah. Perlu diingat
dari penyetaraan reaksi kita akan mendapatkan harga equivalen tiap senyawa
untuk perhitungan (Hamdani, S: 2011).
Titik akhir titrasi dalam titrasi redoks
dapat dilakukan dengan membuat kurva titrasi antara potensial larutan
dengan volume titrant (potensiomteri), atau dapat juga menggunakan indicator.
Dengan memandang tingkat kemudahan dan efisiensi maka titrasi redoks dengan
indicator sering kali yang banyak dipilih. Beberapa titrasi redoks menggunakan
warna titrant sebagai indicator contohnya penentuan oksalat dengan
permanganate, atau penentuan alkohol dengan kalium dikromat (Hamdani, S: 2011).
Reaksi redoks secara luas digunakan dalam
analisa titrimetri baik untuk zat anorganik maupun organik. Reaksi redoks dapat
diikuti dengan perubahan potensial, sehingga reaksi redoks dapat menggunakan
perubahan potensial untuk mengamati titik akhir satu titrasi. Selain itu cara
sederhana juga dapat dilakukan dengan menggunakan indicator (Hamdani, S: 2011).
Semula
istilah “oksidasi” diterapkan pada reaksi suatu senyawa yang bergabung dengan
oksigen dan istilah “reduksi” digunakan untuk menggambarkan reaksi dimana
oksigen diambil dari suatu senyawa. Suatu reaksi redoks dapat terjadi apabila
suatu pengoksidasian bercampur dengan zat yang dapat tereduksi. Dari percobaan
masing-masing dapat ditentukan pereaksi dan hasil reaksi serta koefisiennya
masing-masing (Syukri, 1999).
Reduksi–oksidasi
adalah proses perpindahan elektron dari suatu oksidator ke reduktor. Reaksi reduksi adalah reaksi penangkapan elektron atau
reaksi terjadinya penurunan bilangan oksidasi. Sedangkan reaksi oksidasi adalah
pelepasan elektron atau reaksi terjadinya kenaikan bilangan oksidasi. Jadi,
reaksi redoks adalah reaksi penerimaan elektron dan pelepasan elektron atau
reaksi penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi. Reaksi redoks secara umum
dapat dituliskan sebagai berikut :
Ared
+ Boksà Aoks + Bred
Jika
suatu logam dimasukkan ke dalam larutan yang mengandung ion logam lain, ada
kemungkinan terjadi reaksi redoks, misalnya:
Ni(s)
+ Cu2+(l) àNi2+ + Cu(s)
Artinya
logam Ni dioksidasi menjadi Ni2+ dan Cu2+ di reduksi
menjadi logam Cu.Demikian pula peristiwa redoks tersebut terjadi pada logam
lain seperti besi. Sepotong besi yang tertutup lapisan air yang mengandung
oksigen akan mengalami korosi (Arsyad, 2001)
Titrasi redoks melibatkan reaksi oksidasi dan reduksi antara
titrant dan analit.Titrasi redoks banyak dipergunakan untuk penentuan kadar
logam atau senyawa yang bersifat sebagai oksidator atau reduktor. Aplikasi dalam bidang industri misalnya penentuan sulfite
dalam minuman anggur dengan menggunakan iodine, atau penentuan kadar alkohol dengan
menggunakan kalium dikromat. Beberapa contoh yang lain adalah penentuan asam
oksalat dengan menggunakan permanganate, penentuan besi(II) dengan serium(IV),
dan sebagainya.
Titik akhir titrasi dalam titrasi
redoks dapat dilakukan dengan
mebuat kurva titrasi antara potensial larutan dengan volume
titrant, atau dapat juga
menggunakan indicator. Dengan memandang tingkat kemudahan dan efisiensi maka
titrasi redoks dengan indicator sering kali yang banyak dipilih. Beberapa
titrasi redoks menggunakan warna titrant sebagai indicator contohnya penentuan
oksalat dengan permanganate, atau penentuan alkohol dengan kalium dikromat.
Beberapa titrasi redoks
menggunakan amilum sebagai indicator, khususnya titrasi redoks yang melibatkan
iodine. Indikator yang lain yang bersifat reduktor/oksidator lemah juga sering
dipakai untuk titrasi redoks jika kedua indicator diatas tidak dapat
diaplikasikan, misalnya ferroin, metilen, blue, dan nitroferoin.
2.2 Jenis-jenis Reaksi Titrasi Redoks
Berdasarkan jenis oksidator atau reduktor
yang dipergunakan dalam titrasi redoks, maka dikenal beberapa jenis titrimetri
redoks seperti iodometri, iodimetri dan permanganometri.
1. Iodimetri
dan Iodometri
Titrasi
dengan iodium ada dua macam yaitu iodimetri (secara langsung), dan iodometri
(cara tidak langsung). Dalam iodimetri iodin digunakan sebagai oksidator,
sedangkan dalam iodometri ion iodida digunakan sebagai reduktor. Baik dalam
iodometri ataupun iodimetri penentuan titik akhir titrasi didasarkan adanya I2
yang bebas. Dalam
iodometri digunakan larutan tiosulfat untuk mentitrasi iodium yang dibebaskan.
Larutan natrium tiosulfat merupakan standar sekunder dan dapat distandarisasi
dengan kalium dikromat atau kalium iodidat. Dalam suatu titrasi, bila larutan titran dibuat dari zat yang
kemurniannya tidak pasti, perlu dilakukan pembakuan. Untuk pembakuan tersebut
digunakan zat baku yang disebut larutan baku primer, yaitu larutan yang
konsentrasinya dapat diketahui dengan cara penimbangan zat secara seksama yang
digunakan untuk standarisasi suatu larutan karena zatnya relatif stabil. Selain
itu, pembakuan juga bisa dilakukan dengan menggunakan larutan baku sekunder,
yaitu larutan yang konsentrasinya dapat diketahui dengan cara dibakukan oleh
larutan baku primer, karena sifatnya yang labil, mudah terurai, dan higroskopis
(Khopkar, 1990).
Day
& Underwood (2002) dalam Steven (2012) mengatakan syarat-syarat larutan
baku primer yaitu :
•
Mudah diperoleh dalam bentuk murni
•
Mudah dikeringkan
•
Stabil
•
Memiliki massa molar yang besar
•
Reaksi dengan zat yang dibakukan harus stoikiometri sehingga dicapai dasr
perhitungan.
Teknik
ini dikembangkan berdasarkan reaksi redoks dari senyawa iodine dengan natrium
tiosulfat. Oksidasi dari senyawa iodine ditunjukkan oleh reaksi dibawah ini
I2
+ 2 e → 2 I- Eo = + 0,535 volt
Sifat khas iodine cukup menarik
berwarna biru didalam larutan amilosa dan berwarna merah pada larutan
amilopektin. Dengan dasar reaksi
diatas reaksi redoks dapat diikuti dengan menggunaka indikator amilosa atau amilopektin.
Analisa
dengan menggunakan iodine secara langsung disebut dengan titrasi iodimetri.
Namun titrasi juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan larutan iodida,
dimana larutan tersebut diubah menjadi iodine, dan selanjutnya dilakukan
titrasi dengan natrium tiosulfat, titrasi tidak iodine secara tidak langsung
disebut dengan iodometri. Dalam titrasi ini digunakan indikator amilosa, amilopektin,
indikator carbon tetraklorida juga digunakan yang berwarna ungu jika mengandung
iodine.
Day
& Underwood (2002) dalam Steven (2012), larutan standar yang digunakan
dalam kebanyakan proses iodometri adalah natrium tiosulfat. Garam ini biasanya
berbentuk sabagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi
dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi dengan standar
primer, larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Tembaga
murni dapat digunakan sebagi standar primer untuk natrium tiosulfat.
2.
Permanganometri
Permanganometri merupakan titrasi
redoks menggunakan larutan standar Kalium permanganat. Reaksi redoks ini dapat
berlangsung dalam suasana asam maupun dalam suasana basa. Dalam
suasana asam, kalium permanganat akan tereduksi menjadi Mn2+ dengan persamaan
reaksi :
MnO4-
+ 8 H+ + 5 e → Mn2+ + 4 H2O
Berdasarkan
jumlah ellektron yang ditangkap perubahan bilangan oksidasinya, maka berat
ekivalen Dengan demikian berat ekivalennya seperlima dari berat molekulnya atau
31,606.
Dalam
reaksi redoks ini, suasana terjadi karena penambahan asam sulfat, dan asam
sulfat cukup baik karena tidak bereaksi dengan permanganat.
Larutan
permanganat berwarna ungu, jika titrasi dilakukan untuk larutan yang tidak
berwarna, indikator tidak diperlukan. Namun jika larutan permangant yang kita
pergunakan encer, maka penambahanindikator dapat dilakukan. Beberapa indikator
yang dapat dipergunakan seperti feroin, asam N-fenil antranilat.
Analisa
dengan cara titrasi redoks telah banyak dimanfaatkan, seperti dalam analisis
vitamin C (asam askorbat). Dalam analisis ini teknik iodimetri dipergunakan.
Pertama-tama, sampel ditimbang seberat 400 mg kemudian dilarutkan kedalam air
yang sudah terbebas dari gas carbondioksida (CO2), selanjutnya larutan ini
diasamkan dengan penambahan asam sulfat encer sebanyak 10 mL. Titrasi dengan
iodine, untuk mengetahui titik akhir titrasi gunakan larutan kanji atau amilosa
(Steven, 2012).
3.
Dikromatometri
Dikromatometri
adalah titrasi redoks yang menggunakan senyawa dikromat sebagai oksidator.
Senyawa dikromat merupakan oksidator kuat, tetapi lebih lemah dari permanganat.
Kalium dikromat merupakan standar primer. Penggunaan utama dikromatometri
adalah untuk penentuan besi(II) dalam asam klorida (Zulfikar, 2010).
4.
Serimetri
Larutan serium IV sulfat dalam asam sulfat
encer merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan lebih stabil daripada larutan
kalium permanganat, dengan suatu syarat bahwa asam sulfat cukup mampu
menghindari hidrolisis dan pengendapan garam basanya.kalau larutan kalium
permanganate dapat direduksi menjadi beberapa macam keadaan hasil reduksi, maka
reduksi larutan serium (IV) sulfat selalu menghasilkan ion serium (III),
menurut reaksi :
Ce4+ e- à Ce3+
Keuntungan
Serimetri :
1.
Larutan serium (IV) sulfat sangat stabil pada penyimpanan yang lama dan
tidak perlu terlindung dari cahaya, seperti kalium permanganate. Bahkan pada
pendidihan yang terlalu lamatidak mengalamiperubahan konsentrasi.
2.
Larutan serium (IV) sulfat dapat digunakan untuk menetapkan kadar
larutan yang mengandung klorida yang konsentrasinya tinggi.
3.
Reaksi ion serium (IV) dengan reduktor dalam larutan asam memberikan
perubahan valensi yng sederhana (valensi 1).
Ce4+ e- à Ce3+
Sehingga berat ekivalennya adalah sama dengan
berat molekulnya, sedangkan pada permanganate karena hasil reduksinya
bermacam-macam, maka brat ekivalennya tergantung pada kondisi percobaannya.
4.
Larutan serium (IV) sulfat merupakan pengoksidasi (oksidator) yang baik
sehingga semua senyawa yang dapat ditetapkan dengan kalium permanganate dapat
ditetapkan dengan serium (IV) sulfat bahkan dengan reduktor yang lain
5.
Larutan serium (IV) sulfat kurang berwarna sehingga tidak mengkaburkan
pemngamatan titik akhir indicator. Penggunaan indicator ion fero-fenantrolin
(ferroin) sangat memuaskan pada titrasi dengan larutan baku serium (IV) sulfat.
Beberapa
senyawa yang ditetapkan kadarnya secara serimetri dalam Farmakope Indonesia
Edisi IV adalah : besi (II) fumarat, besi (II) glukonat, besi (II) sulfat,
hidrokuinon, vitamin K (menadion), vitamin E (tokoferol) bebas.
Kekurangan
serium sulfat :
Larutan
serium (IV) sulfat dalam asam klorida pada suhu didih tidak stabil karena
terjadi reduksi oleh asam dan terjadi pelepasan
klorin (Zulfikar, 2010).
5.
Nitrimetri
Metode
Nitrimetri merupakan titrasi yang dipergunakan dalam analisa senyawa-senyawa
organik, khususnya untuk persenyawaan amina primer. Penetapan kuantitas zat
didasari oleh reaksi antara fenil amina primer (aromatic) dengan natrium nitrit
dalam suasana asam menbentuk garam diazonium. Reaksi ini dikenal dengan reaksi
diazotasi, dengan persamaan yang berlangsung dalam dua tahap seperti dibawah
ini :
NaNO2
+ HCl → NaCl + HONO
Ar-
NH2 + HONO + HCl → Ar-N2Cl + H2O
Reaksi ini tidak stabil dalam suhu kamar,
karena garam diazonium yang terbentu mudah tergedradasi membentuk senyawa fenol
dan gas nitrogen. Sehingga reaksi dilakukan pada suhu dibawah 15oC.
Reaksi diazotasi dapat dipercepat dengan panambahan garam kalium bromida.
Reaksi
dilakukan dibawah 15 oC, sebab pada suhu yang lebih tinggi garam
diazonium akan terurai menjadi fenol dan nitrogen. Reaksi diazonasi dapat
dipercepat dengan menambahkan kalium bromida.
Titik
ekivalensi atau titik akhir titrasi ditunjukan oleh perubahan warna dari pasta
kanji iodide atau kertas iodida sebagai indicator luar.
Kelebihan
asam nitrit terjadi karena senyawa fenil sudah bereaksi seluruhnya, kelebihan
ini dapat berekasi dengan yodida yang ada dalam pasta kanji atas kertas, reaksi
ini akan mengubah yodida menjadi iodine diikuti dengan perubahan warna menjadi
biru. Kejadian ini dapat ditunjukkan setelah larutan didiamkan selama beberapa
menit. Reaksi perubahan warna yang dijadikan infikator dalam titrasi ini adalah
:
KI
+HCl → KCl + HI
2
HI + 2 HONO → I2 + 2 NO + H2O
I2
+ Kanji yod (biru)
Penetapan
titik akhir dapat juga ditunjukkan dengan campuran tropiolin dan metilen blue
sebagai indikator dalam larutan. Titik akhir titrasi juga dapat ditentukan
dengan teknik potensiometri menggunakan platina sebagai indikator elektroda dan
saturated calomel elektroda sebagai elektroda acuan (Zulfikar, 2010).
6.
Bromometri dan Bromatometri
Bromometri merupakan penentuan kadar
senyawa berdasarkanreaksi reduksi-oksidasi dimana proses titrasi (reaksi antara
reduktor dan bromine berjalan lambat) sehingga dilakukan titrasi secara tidak
langsung dengan menambahkan bromine berlebih. Sedangkan bromatometri dilakukan
dengan titrasi secara langsung karena proses titrasi berjalan cepat.
Bromatometri
merupakan salah satu metode oksidimetri dengandasar reaksi oksidasi dari ion
bromat ( BrO3 ).
BrO3
+ 6 H + 6 e à
Br + 3 H2O
Dari
persamaan reaksi ini ternyata bahwa satu gram ekuivalen sama dengan 1/6 gram molekul.
Disini dibutuhkan lingkungan asam karena kepekatan ion H+
berpengharuh terhadap perubahan ion bromat menjadi ion bromida.
Oksidasi
potensiometri yang relatif tinggi dari sistem menunjukkan bahwa kalium bromat
adalah oksidator yang kuat. Hanya saja kecepatan reaksinya tidak cukup
tinggi. Untuk menaikkan kecepatan ini titrasi dilakukan dalam keadaan panas dan
dalam lingkungan asam kuat.
Seperti
yang terlihat dari reaksi di atas, ion bromat direduksi menjadi ion bromide
selama titrasi. Adanya sedikit kelebihan kalium bromat dalam larutan akan
menyebabkan ion bromide bereaksi dengan ion bromat
BrO3
+ 6 H + 5 Br à 3Br2 +
3 H
Bromine
yang dilepaskan akan merubah larutan menjadi warna kuningpucat. Warna ini
sangat lemah sehingga tidak mudah untuk menetapkan titik akhir. Bromine yang
dilepaskan tidak stabil karena mempunyai tekanan uap yang tinggi dan mudah
menguap. Karena itu penetapan harus dilakukan pada suhu serendah mungkin, serta
labu yang dipakai harus ditutup.
Jika
reaksi antara senyawa reduktor dan bromine dalam lingkungan asam berjalam
cepat, maka titrasi dapat dijalankan langsung, dimana titik akhir titrasi
ditunjukkan denghan munculnya warna bromine dalam larutan.Tetapi jika reaksi
antara bromine dan zat yang akan ditetapkan berjalan lambat, maka dilakukan
titrasi secara tidak langsung, yaitu dengan menambahkan bromine yang berlebih
dan bromine yang berlebih ini ditetapkan secara iodometri dengan dititrasi
dengan natrium tiosulfat baku.(3). Dengan terbentunya brom, titik akhir titrasi
dapat ditentukandengan terjadinya warna kuning dari brom, akan tetapi supaya
warna inimenjadi jelas maka perlu ditambah indicator seperti jingga metal,
merah fiuchsin, dan lain-lain (Zulfikar, 2010).
2.3 Prinsip Reaksi Titrasi Redoks
Reaksi
oksidasi reduksi atau reaksi redoks adalah reaksi yang melibatkan penangkapan
dan pelepasan elektron. Dalam setiap reaksi redoks, jumlah elektron yang
dilepaskan oleh reduktor harus sama dengan jumlah elektron yang ditangkap oleh
oksidator. Ada dua cara untuk menyetarakan persamaan reaksi redoks yaitu metode
bilangan oksidasi dan metode setengah reaksi (metode ion elektron). Hubungan
reaksi redoks dan perubahan energi adalah sebagai berikut: Reaksi redoks
melibatkan perpindahan elektron; Arus listrik adalah perpindahan elektron;
Reaksi redoks dapat menghasilkan arus listrik, contoh: sel galvani; Arus
listrik dapat menghasilkan reaksi redoks, contoh sel elektrolisis. Sel galvani
dan sel elektrolisis adalah sel elektrokimia.
Persamaan
elektrokimia yang berguna dalam perhitungan potensial sel adalah persamaan
Nernst. Reaksi redoks dapat digunakan dalam analisis volumetri bila memenuhi
syarat. Titrasi redoks adalah titrasi suatu larutan standar oksidator dengan
suatu reduktor atau sebaliknya, dasarnya adalah reaksi oksidasi-reduksi antara
analit dengan titran (Steven, 2012).
2.4
Faktor yang Memengaruhi Titrasi Redoks
Faktor–faktor yang mempengaruhi pembentukan
lapisan oksidasi reduksi yaitu sebagai berikut:
(1) adanya faktor pencucian dari lapisan di dalam tanah yang menyebabkan tanah membentuk lapisan oksidasi dan lapisan reduksi.
(2) adanya zat-zat protein yang berhubungan langsung oleh mikroorganisme yang sangat berperan penting dalam proses oksidasi reduksi dalam tanah.
(1) adanya faktor pencucian dari lapisan di dalam tanah yang menyebabkan tanah membentuk lapisan oksidasi dan lapisan reduksi.
(2) adanya zat-zat protein yang berhubungan langsung oleh mikroorganisme yang sangat berperan penting dalam proses oksidasi reduksi dalam tanah.
Beberapa
faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi antara lain konsentrasi, sifat zat
yang bereaksi, suhu dan katalisator.
a. Konsentrasi
Dari berbagai percobaan menunjukkan bahwa makin besar konsentrasi zat-zat yang bereaksi makin cepat reaksinya berlangsung. Makin besar konsentrasi makin banyak zat-zat yang bereaksi sehingga makinbesar kemungkinan terjadinya tumbukan dengan demikian makin besar pula kemungkinan terjadinya reaksi.
b. Sifat Zat Yang Bereaksi
Sifat mudah sukarnya suatu zat bereaksi akan menentukan kecepatan berlangsungnya reaksi. Secara umum dinyatakan bahwa:
• Reaksi antara senyawa ion umumnya berlangsung cepat.
Hal ini disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antara ion-ion yang muatannya berlawanan. Contoh:
Ca2+(aq) + CO32+(aq) → CaCO3(s)
Reaksi ini berlangsung dengan cepat.
• Reaksi antara senyawa kovalen umumnya berlangsung lambat.
Hal ini disebabkan karena untuk berlangsungnya reaksi tersebut dibutuhkan energi untuk memutuskan ikatan-ikatan kovalen yang terdapat dalam molekul zat yang bereaksi. Contoh:
CH4(g) + Cl2(g) → CH3Cl(g) + HCl(g)
Reaksi ini berjalan lambat reaksinya dapat dipercepat apabila diberi energi misalnya cahaya matahari.
c. Suhu
a. Konsentrasi
Dari berbagai percobaan menunjukkan bahwa makin besar konsentrasi zat-zat yang bereaksi makin cepat reaksinya berlangsung. Makin besar konsentrasi makin banyak zat-zat yang bereaksi sehingga makinbesar kemungkinan terjadinya tumbukan dengan demikian makin besar pula kemungkinan terjadinya reaksi.
b. Sifat Zat Yang Bereaksi
Sifat mudah sukarnya suatu zat bereaksi akan menentukan kecepatan berlangsungnya reaksi. Secara umum dinyatakan bahwa:
• Reaksi antara senyawa ion umumnya berlangsung cepat.
Hal ini disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antara ion-ion yang muatannya berlawanan. Contoh:
Ca2+(aq) + CO32+(aq) → CaCO3(s)
Reaksi ini berlangsung dengan cepat.
• Reaksi antara senyawa kovalen umumnya berlangsung lambat.
Hal ini disebabkan karena untuk berlangsungnya reaksi tersebut dibutuhkan energi untuk memutuskan ikatan-ikatan kovalen yang terdapat dalam molekul zat yang bereaksi. Contoh:
CH4(g) + Cl2(g) → CH3Cl(g) + HCl(g)
Reaksi ini berjalan lambat reaksinya dapat dipercepat apabila diberi energi misalnya cahaya matahari.
c. Suhu
Pada
umumnya reaksi akan berlangsung lebih cepat bila suhu dinaikkan. Dengan
menaikkan suhu maka energi kinetik molekul-molekul zat yang bereaksi akan
bertambah sehingga akan lebih banyak molekul yang memiliki energi sama atau
lebih besar dari Ea. Dengan demikian lebih banyak molekul yang dapat mencapai
keadaan transisi atau dengan kata lain kecepatan reaksi menjadi lebih besar.
d. Katalisator
Katalisator adalah zat yang ditambahkan ke dalam suatu reaksi dengan maksud memperbesar kecepatan reaksi. Katalis terkadang ikut terlibat dalam reaksi tetapi tidak mengalami perubahan kimiawi yang permanen, dengan kata lain pada akhir reaksi katalis akan dijumpai kembali dalam bentuk dan jumlah yang sama seperti sebelum reaksi. Fungsi katalis adalah memperbesar kecepatan reaksinya (mempercepat reaksi) dengan jalanmemperkecil energi pengaktifan suatu reaksi dan dibentuknya tahap-tahap reaksi yang baru. Dengan menurunnya energi pengaktifan maka pada suhu yang sama reaksi dapat berlangsung lebih cepat
d. Katalisator
Katalisator adalah zat yang ditambahkan ke dalam suatu reaksi dengan maksud memperbesar kecepatan reaksi. Katalis terkadang ikut terlibat dalam reaksi tetapi tidak mengalami perubahan kimiawi yang permanen, dengan kata lain pada akhir reaksi katalis akan dijumpai kembali dalam bentuk dan jumlah yang sama seperti sebelum reaksi. Fungsi katalis adalah memperbesar kecepatan reaksinya (mempercepat reaksi) dengan jalanmemperkecil energi pengaktifan suatu reaksi dan dibentuknya tahap-tahap reaksi yang baru. Dengan menurunnya energi pengaktifan maka pada suhu yang sama reaksi dapat berlangsung lebih cepat
2.5 Indikator Titrasi Redoks
Indikator Redoks adalah indikator
yang berubah warnanya karena terjadi reaksi reduksi-oksidasi (redoks). Disini
indikator memperlihatkan warna teroksidasi dan warna tereduksi. Dalam titrasi
redoks ada 3 jenis indikator:
a.
Indikator
Redoks Reversibel
Indikator oksidasi - reduksi yang sebenarnya yang tidak
tergantung dari salah satu zat, tetapi hanya pada perubahan potensial larutan
selama titrasi. Indikator ini dapat dioksidasi dan direduksi secara reversibel
(bolak-balik).
Tidak semua indikator redoks dapat
dipakai untuk sembarang titrasi redoks. Pemilihan indikator yang cocok
ditentukan oleh kekuatan oksidasi titrat dan titrant, dengan perkataan lain,
potensial titik ekivalen titrasi tersebut. Bila potensial peralihan indikator
tergantung dari pH, maka juga harus diusahakan agar pH tidak berubah selama
titrasi berlangsung.
Untuk titrasi dengan Ce4+ dapat dipakai Ferroin; sedangkan untuk titrasi dengan Cr2O7 = Ferroin tidak cocok karena potensial perubahan ferroin terlalu tinggi dibandingkan dengan potensial TE. Maka dipakai difenilamin atau difenilamin sulfonat. Sebenarnya kedua indikator ini kebalikan dari ferroin dalam arti potensial peralihannya terlalu rendah. Namun dengan asam fosfat 3 M kesulitan ini teratasi karena potensial TE diturunkan sehingga sesuai untuk penggunaan difenilamin atau garam sulfonatnya. Penurunan potensial terjadi karena asam fosfat (H3PO4) mengkompleks Fe3+ tetapi tidak mengkompleks Fe2+, sehingga konsentrasi Fe3+ bebas selalu rendah. Berikut Beberapa Contoh – contoh Indikator Redoks yang sering digunakan :
1. Kompleks Fe ( II ) – ortofenentrolin
Suatu golongan senyawa organik yang dikenal dengan nama 1,10 fenantrolin ( Ortofenantrolin ) yang membentuk kompleks yang stabil dengan Fe ( II ) dan ion-ion lain melalui kedua atom N pada struktur induknya. Sebuah ion Fe2+ berikatan dengan tiga buah molekul fenantrolin dan membentuk kelat dengan struktur.
Kompleks ini terkadang disebut FERROIN dan ditulis (Ph)3Fe2+ agar sederhana. Besi yang terikat dalam ferroin itu mengalami oksidasi reduksi secara reversible.
Walaupun kompleks (Ph)3 Fe2+ berwarna biru muda, dalam kenyataannya, warna dalam titrasi berubah dari hampir tak berwarna menjadi merah. Karena kedua warna berbeda intensitas, maka titik akhir dianggap tercapai pada saat baru 10 % dari indikator berbentuk (Ph)3Fe2+. Oleh sebab itu maka potensial peralihannya kira – kira 1,11 Volt dalam larutan H2SO4 1 M.
Diantara semua indikator redoks, Ferroin paling mendekati bahan yang ideal. Perubahan warnanya sangat tajam, larutannya mudah dibuat dan sangat stabil. Bentuk teroksidasinya amat tahan terhadap oksidator kuat. Reaksinya cepat dan reversibel. Diatas 60 oC, Ferroin terurai.
2. Difenilamin dan turunannya
Ditemukan pertama kali dan penggunaannya dianjurkan oleh Knop pada tahun 1924 untuk titrasi Fe2+ dengan kalium bikhromat.
Reaksi pertama membentuk difenilbenzidine yang tak berwarna; reaksi ini tidak reversibel. Yang kedua membentuk violet difenilbenzidine, reversibel dan merupakan reaksi indikator yang sebenarnya.
Potensial reduksi reaksi kedua kira – kira 0.76 volt. Walaupun ion H+ tampak terlibat, ternyata perubahan keasaman hanya berpengaruh kecil atas potensial ini, mungkin karena asosiasi ion tersebut denga hasil yang berwarna itu.
Kekurangan difenilamain antara lain ialah indikator ini harus dilarutkan dalam asam sulfat pekat karena sulit larut dalam air. Hasil oksidasi ini membentuk endapan dengan ion Wolfram sehingga dalam Analisa , ion tersebut tidak dapat dipakai. Akhirnya ion merkuri memperlambat reaksi indikator ini.
Derivat difenilamin yaitu Asam Difenilamin Sulfonat, tidak mempunyai kelemahan – kelemahan diatas :
Garam Barium atau Natrium dari asam ini dapat digunakan untuk membuat larutan indikator dalam air dan sifatnya serupa dengan induknya. Perubahan warna sedikit lebih tajam, dari tak berwarna , melalui hijau menjadi violet. Potensial peralihannya 0.8 volt dan juga tak tergantung dari konsentrasi asam. Asam sulfonat derivat ini sekarang banyak digunakan dalam titrasi redoks.
Untuk titrasi dengan Ce4+ dapat dipakai Ferroin; sedangkan untuk titrasi dengan Cr2O7 = Ferroin tidak cocok karena potensial perubahan ferroin terlalu tinggi dibandingkan dengan potensial TE. Maka dipakai difenilamin atau difenilamin sulfonat. Sebenarnya kedua indikator ini kebalikan dari ferroin dalam arti potensial peralihannya terlalu rendah. Namun dengan asam fosfat 3 M kesulitan ini teratasi karena potensial TE diturunkan sehingga sesuai untuk penggunaan difenilamin atau garam sulfonatnya. Penurunan potensial terjadi karena asam fosfat (H3PO4) mengkompleks Fe3+ tetapi tidak mengkompleks Fe2+, sehingga konsentrasi Fe3+ bebas selalu rendah. Berikut Beberapa Contoh – contoh Indikator Redoks yang sering digunakan :
1. Kompleks Fe ( II ) – ortofenentrolin
Suatu golongan senyawa organik yang dikenal dengan nama 1,10 fenantrolin ( Ortofenantrolin ) yang membentuk kompleks yang stabil dengan Fe ( II ) dan ion-ion lain melalui kedua atom N pada struktur induknya. Sebuah ion Fe2+ berikatan dengan tiga buah molekul fenantrolin dan membentuk kelat dengan struktur.
Kompleks ini terkadang disebut FERROIN dan ditulis (Ph)3Fe2+ agar sederhana. Besi yang terikat dalam ferroin itu mengalami oksidasi reduksi secara reversible.
Walaupun kompleks (Ph)3 Fe2+ berwarna biru muda, dalam kenyataannya, warna dalam titrasi berubah dari hampir tak berwarna menjadi merah. Karena kedua warna berbeda intensitas, maka titik akhir dianggap tercapai pada saat baru 10 % dari indikator berbentuk (Ph)3Fe2+. Oleh sebab itu maka potensial peralihannya kira – kira 1,11 Volt dalam larutan H2SO4 1 M.
Diantara semua indikator redoks, Ferroin paling mendekati bahan yang ideal. Perubahan warnanya sangat tajam, larutannya mudah dibuat dan sangat stabil. Bentuk teroksidasinya amat tahan terhadap oksidator kuat. Reaksinya cepat dan reversibel. Diatas 60 oC, Ferroin terurai.
2. Difenilamin dan turunannya
Ditemukan pertama kali dan penggunaannya dianjurkan oleh Knop pada tahun 1924 untuk titrasi Fe2+ dengan kalium bikhromat.
Reaksi pertama membentuk difenilbenzidine yang tak berwarna; reaksi ini tidak reversibel. Yang kedua membentuk violet difenilbenzidine, reversibel dan merupakan reaksi indikator yang sebenarnya.
Potensial reduksi reaksi kedua kira – kira 0.76 volt. Walaupun ion H+ tampak terlibat, ternyata perubahan keasaman hanya berpengaruh kecil atas potensial ini, mungkin karena asosiasi ion tersebut denga hasil yang berwarna itu.
Kekurangan difenilamain antara lain ialah indikator ini harus dilarutkan dalam asam sulfat pekat karena sulit larut dalam air. Hasil oksidasi ini membentuk endapan dengan ion Wolfram sehingga dalam Analisa , ion tersebut tidak dapat dipakai. Akhirnya ion merkuri memperlambat reaksi indikator ini.
Derivat difenilamin yaitu Asam Difenilamin Sulfonat, tidak mempunyai kelemahan – kelemahan diatas :
Garam Barium atau Natrium dari asam ini dapat digunakan untuk membuat larutan indikator dalam air dan sifatnya serupa dengan induknya. Perubahan warna sedikit lebih tajam, dari tak berwarna , melalui hijau menjadi violet. Potensial peralihannya 0.8 volt dan juga tak tergantung dari konsentrasi asam. Asam sulfonat derivat ini sekarang banyak digunakan dalam titrasi redoks.
b.
Indikator
Redoks Irreversibel
Indikator yang berubah warnanya karena oksidasi dari
oksidator dan sifatnya tidak dapat berubah kembali seperti semula.
Indikator ini digunakan pada titrasi Bromatometri. Contoh
yang sering digunakan adalah Methyl Red (MR) dan Methyl Orange (MO).
Reaksi yang terjadi berupa oksidasi dari indikator MR atau MO menjadi senyawa yang tidak berwarna oleh Brom bebas (Br2).
Reaksi yang terjadi berupa oksidasi dari indikator MR atau MO menjadi senyawa yang tidak berwarna oleh Brom bebas (Br2).
c.
Indikator
Redoks Khusus
Indikator khusus yang bereaksi dengan salah satu komponen
yang bereaksi, Contoh indikator yang paling kita kenal ialah Amilum, yang
membentuk kompleks biru tua dengan ion triIodida.
Indikator yang sebenarnya jauh lebih luas penerapannya karena hanya tergantung dari perubahan potensial larutan . Sudah dikemukakan bahwa indikator tersebut sebenarnya juga dapat dioksidasi – reduksi dan mempunyai warna yang berbeda dalam bentuk tereduksi.
Indikator yang sebenarnya jauh lebih luas penerapannya karena hanya tergantung dari perubahan potensial larutan . Sudah dikemukakan bahwa indikator tersebut sebenarnya juga dapat dioksidasi – reduksi dan mempunyai warna yang berbeda dalam bentuk tereduksi.
Indikator ini dipakai pada Iodometri dan Iodimetri,
indikator yang biasa digunakan adanya Amylum dan Chloroform. Pemakaian
indikator ini tidak terpengaruh oleh naik turunnya bilangan oksidasi atau
potensial larutan, melainkan berdasarkan pembentukan kompleks dengan iodium.
1. Amylum
Penggunaan Indikator ini berdasarkan pembentukan kompleks Iod-Amylum yang larut dengan Iodium (I2) yang berwarna biru cerah. Mekanisme pewarnaan biru ini karena terbentuknya suatu senyawa dala dari amilum dan atom iod. Fraksi Amilosa-amilum mempunyai bentuk helikal dan dengan itu membentuk celah berbentuk saluran. Dalam saluran itu terdapat suatu rantai iod linear, Warna biru disebabkan oleh ketujuh elektron luar atom Iod yang mudah bergerak.
1. Amylum
Penggunaan Indikator ini berdasarkan pembentukan kompleks Iod-Amylum yang larut dengan Iodium (I2) yang berwarna biru cerah. Mekanisme pewarnaan biru ini karena terbentuknya suatu senyawa dala dari amilum dan atom iod. Fraksi Amilosa-amilum mempunyai bentuk helikal dan dengan itu membentuk celah berbentuk saluran. Dalam saluran itu terdapat suatu rantai iod linear, Warna biru disebabkan oleh ketujuh elektron luar atom Iod yang mudah bergerak.
Setelah
penambahan titrant Tiosulfat maka kompleks ini dipecah dan bila konsentrasi Iod
habis maka warna biru tadi akan hilang. Penambahan indikator amylum sebaiknya
menjelang titik akhir titrasi karena kompleks iod-amilum yang terbentuk sukar
dipecah pada titik akhir titrasi sehingga penggunaan Tiosulfat kelebihan
berakibat terjadi kesalahan titrasi. Bila Iod masih banyak sekali bahkan dapat
menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada
titik akhir titrasi.
2.Chloroform
Penggunaan indikator ini untuk titrasi Iodometri, berdasarkan fungsi Chloroform sebagai pelarut organik yang melarutkan iodium dalam fase organik (fase nonpolar). Melarutnya Iodium dalam Chloroform memberi warna violet. Hal ini patut dipahami karena Iodium sukar larut dalam air, larut hanya sekitar 0,0013 mol perliter pada suhu 25O C. Tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI karena membentuk Ion TriIodida (I3-)dan dalam Chloroform.
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka Iodium akan diubah menjadi Iodida dan bila konsentrasi iod habis maka warna violet tadi akan hilang.
2.Chloroform
Penggunaan indikator ini untuk titrasi Iodometri, berdasarkan fungsi Chloroform sebagai pelarut organik yang melarutkan iodium dalam fase organik (fase nonpolar). Melarutnya Iodium dalam Chloroform memberi warna violet. Hal ini patut dipahami karena Iodium sukar larut dalam air, larut hanya sekitar 0,0013 mol perliter pada suhu 25O C. Tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI karena membentuk Ion TriIodida (I3-)dan dalam Chloroform.
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka Iodium akan diubah menjadi Iodida dan bila konsentrasi iod habis maka warna violet tadi akan hilang.
2.6 Aplikasi Titrasi Redoks dalam Analisis
Obat
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu, Sodiq, dkk. 2004. Kimia
Analitik I. Malang: JICA
Hamdani, S. 2012. Titrasi Redoks.
http://catatankimia.com/catatan/titrasi-redoks.html diakses tanggal 23 November
2015
SM, Khopkar. 2010. Konsep Dasar
Kimia Analitik. Jakarta: UI Press
Steven, 2012. Titrasi Redoks. http://nevetstheanstag.wordpress.com/2012/05/27/titrasi- redoks/ diakses tanggal 23 November 2015
Underwood, A.L., day, RA., (1993), “Analisa Kimia Kuantitatif”, Edisi V, Alih Bahasa : R. Soedonro,
Erlangga, Surabaya.
Roth, J., Blaschke, G., (1988), “Analisa Farmasi”, UGM Press, Yogyakarta.
Dirjen POM, (1979), “Farmakope Indonesia”, edisi III, Departemen Kesehatan RI., Jakarta.
Dirjen POM, (1995), “Farmakope Indonesia”, edisi IV, Depatemen Kesehatan RI., Jakarta.
Zulfikar. 2010. Titrasi Redoks.
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/ titrasi-redoks/ diakses tanggal 23 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar